Gaji DPR Lebih dari Rp100 Juta, Publik Nilai Tak Pantas di Tengah Krisis

Gaji DPR Lebih dari Rp100 Juta, Publik Nilai Tak Pantas di Tengah Krisis

Anggota DPR saat ini tercatat menerima penghasilan resmi lebih dari Rp100 juta per bulan. Jumlah tersebut berasal dari gaji pokok, berbagai tunjangan, serta tambahan tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan.

Kebijakan tunjangan rumah itu menuai penolakan luas karena dinilai berlebihan dan tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat yang semakin sulit. Peneliti ICW, Egi Primayogha, menilai langkah ini mencederai rasa keadilan publik. “Di saat warga kesulitan membeli kebutuhan pokok, DPR justru menambah tunjangan hingga Rp50 juta per bulan. Itu jelas tidak pantas,” ujarnya.

Besarnya penghasilan ini sempat diungkap anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, saat menanggapi pertanyaan seputar sulitnya mencari penghasilan halal di parlemen. Ia merinci bahwa pendapatan resmi yang ia terima sudah menembus lebih dari Rp100 juta.

Sekjen DPR, Indra Iskandar, beralasan tunjangan rumah diberikan karena kondisi rumah dinas di Kalibata dan Ulujami sudah rusak dan butuh renovasi besar. Namun, ICW menghitung biaya kebijakan ini mencapai Rp1,74 triliun selama lima tahun masa jabatan, jumlah yang dinilai bertolak belakang dengan kebijakan efisiensi anggaran pemerintah.

Situasi masyarakat justru semakin terhimpit. Harga beras terus naik, bahkan rata-rata beras premium mencapai Rp16.088 per kilogram, di atas harga eceran tertinggi. Belum lagi rencana kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% serta lonjakan pajak bumi dan bangunan di sejumlah daerah yang makin menekan daya beli rakyat.

Lapangan kerja pun tidak kondusif. Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 42.385 pekerja terkena PHK sepanjang Januari–Juni 2025, meningkat lebih dari 32% dibanding tahun sebelumnya. Kondisi ini mempertegas ketidakpantasan pemberian tunjangan besar bagi DPR.

Padahal, sebelum adanya tunjangan rumah, anggota dewan sudah mengantongi gaji pokok dan tunjangan lain yang totalnya lebih dari Rp54 juta per bulan. Fasilitas itu mencakup tunjangan jabatan, uang sidang, bantuan komunikasi, listrik, telepon, hingga asisten pribadi.

Pengamat Formappi, Lucius Karus, menyebut tunjangan DPR sebagai “subsidi negara” dalam jumlah besar yang tidak sebanding dengan kinerja. Ia menyoroti kehadiran anggota DPR yang kerap rendah dan pembahasan legislasi yang sering tersendat. “Banyak tunjangan justru membuat anggota malas,” katanya.

Survei Indikator Politik Indonesia (Januari 2025) juga memperlihatkan tingkat kepercayaan publik terhadap DPR hanya 69%, menempati peringkat ke-10 dari 11 lembaga negara. Meski begitu, sebagian besar anggota DPR enggan berkomentar soal tunjangan rumah. Hanya TB Hasanuddin yang menyatakan, “Kami hanya menerima. Berapapun diberi, saya bersyukur.”

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama